Semua sektor ekonomi, kecuali industri dan jasa layanan kesehatan mengalami penurunan aktifitas dan kemampuannya sebagai dampak dari wabah Covid 19, yang menerapkan pembatasan sosial dan interaksi antar sesama
Khusus untuk kondisi pasar rakyat / tradisional penurunan terjadi sebelum Covid 19, meski masih dapat bisa dipikul oleh para pedagang. Artinya, penurunan saat ini sudah memasuki level kritis bagi keberlangsung entitas pasar dan pedagang pasar.
Titik kritis dapat dilihat dari nilai transaksi harian para pedagang hampir di seluruh pasar yang ada di Jawa Barat.
Kondisi meredanya wabah Covid 19, memberikan harapan baru akan mulai kembali tumbuhnya nilai transaksi minimal pada level sebelum Covid 19 melanda.
Momen Nataru yang telah berlalu, awalnya merupakan harapan besar terjadinya marema sebagaimana pada momen Nataru sebelum Covid 19.
Namun harapan itu berlalu dengan meninggalkan pilu di ulu, tak ada lonjakan pembeli malah cenderung sepi. Mungkin boleh dikatakan momen Nataru tahun ini adalah satu satunya nataru dengan harga barang kebutuhan pokok terkendali sangat baik. Lantaran tidak ada permintaan besar.
Penurunan nilai transaksi bukan hanya di alami oleh pedagang bahan pokok, tetapi juga dirasakan oleh para pedagang kecil kuliner yang biasa menjajakan dagangannya di kaki kaki lima.
Sekedar contoh, Nataru adalah adanya kebiasaan bakar bakaran daging, sehingga menurut salah seorang pedagang daging di Kota Tasikmalaya menyampaikan bahwa momen tahun baru sebelum wabah Covid biasa dapat menghabiskan 20 ekor sapi setiap harinya sejak mulai Natal sampai tahun baru. Sekarang hanya mampu menghabiskan 5 ekor saja sangat sulit. Hal yang sama diakui oleh salah seorang pedagang daging di Garut, dulu sebelum Covid, untuk kebutuhan harian saja bisa menghasilkan 3 ekor par hari untuk tiga kios yang dimilikinya, sekarang memotong sapi 1 ekor saja dijajakan di 3 kios milikknyabyerkadang baru habis sampai dua hari.
Bergeser ke komoditas sayuran, bumbu bumbuan dan kuliner. Beberapa pedagang yang ditemui di beberapa pasar menyampaikan bahwa volume transaksi turun drastis antara 30% sampai 70%, bahkan kadang lebih rendah lagi. Contohnya kalau dulu cabe rawit per hari bisa habis 20 kg, sekarang hanya 5 atau 6 kg. Ketimun duluan bisa habis 100 kg per hari, sekarang paling 25 sampai 30 kg saja. Sedangkan penjaja kuliner di salah satu tempat di Garut menceritakan kalau menjelang tahun baru biasanya dari buka sampai malam bisa meraup omset minimal hingga Rp 500 ribu, malam tahun baru kemarin dengan tegang waktu yang sama hanya dapat Rp 150 ribu saja.
Beberapa pedagang menyampaikan sepinya pasar dari pembeli karena turunnnya daya beli masyarakat. Ketika ditanya lebih lanjut tentang itu, mereka rata rata berdalil, bahwa cirinya dapat dilihat dari perilaku konsumen yang lebih memilih mengurangi volume belanja lebih kecil dari pada biasanya, atau lebih memilih alternatif komoditas yang lebih murah, tetapi dinilai mempunyai nilai gizi yang sama. Contoh telor ayam diganti oleh telor puyuh.
Penulis menemukan fakta lapangan seperti itu sampai tulisan ini dibuat, jujur karena belum puas terhadap jawaban pedagang yang berkesimpulan, bahwa sepinya pasar dari pembeli karena penurunan daya beli masyarakat.
Ketidak percayaan itu, lantaran penulis tahu persis komplekaitas tantangan yang ada di pasar rakyat, setidak tidaknya ada 11 persoalan yang bisa mendegradasi eksistensi pasar rakyat, antara lain : regulasi, infrastruktur, pengelolaan, modal, SDM, sumber barang, persaingan yang tidak seimbang, pasar on line, alas hak kios, dan lain sebagainya. Itu menurut penulis latar belakang daya saing pasar rendah.
Kalau karena adanya pasar on line, beberapa pasar saat ini sudah masuk dalam jaringan pasar.id nya BRI.
Tapi pernyataan pedagang tentang turunnya daya beli masyarakat, telah menggelitik hati hingga berhari hari. Dan sampai tulisan ini dibuat, tidak lain karena rasa penasaran atas apa yang saat ini terjadi di pasar rakyat.
Poin besar dari uraian ini adalah, jangan menganggap remeh dan melirik sebelah mata atas penurunan drastis volume dan nilai transaksi yang terjadi di pasar pasar saat ini.
Pembiaran dengan level kepedulian yang rendah terhadap apa yang sedang berlangsung dan dialami oleh pasar dan pedagang pasar, sama dengan ikut membangun semakin mengguritanya sistem monopoli dan oligharki dalam sistem ekonomi nasional saat ini. Artinya, kita semua murtad dari Pasal 33 UUD 1945. Kalau itu pilihan kita berarti pula kita menjerumuskan diri dirumah sendiri.
Berkaitan dengan itu DPW APPSI Jabar, mengajak semua pihak khususnya Kementerian Perdagangan, Gubernur, Bupati dan Walikota serta DPR RI dan DPRD seluruh Indonesia untuk meng-“upgrade”, level kepekaan, tanggungjawab dan keberpihakannya terhadap kondisi pasar dan pedagang pasar saat ini yang berada di ujung tanduk. Itupun kalau ingin pasar sebagai benteng terakhir ekonomi kerakyatan tetap ada menjadi basis pondasi dan kekuatan ekonomi nasional
DPW APPSI Jabar mengajak semua stake holders pasar rakyat, untuk sama sama melakukan penelitian, guna melakukan diagnosis jejak penyebab turunnya volume dan nilai transaksi di pasar pasar, dengan tujuan menemukan resep solusi yang tepat.
Wallohu’alam bisshowab
Nang Sudrajat
Sekjen DPP Papera