Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) baru-baru ini diprediksi akan menurunkan omzet para pedagang pasar tradisional sebesar 30-40 persen.
Jika pemerintah jadi menerapkan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load), penurunan omzet yang dialami para pedagang pasar ini bahkan bisa mencapai 50 persen.
“Harga BBM naik saja sudah memberatkan kami para pedagang pasar. Apalagi jika pemerintah jadi memberlakukan kebijakan Zero ODOL pada awal tahun depan,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman.
Dia mengutarakan kelebihan muatan dan dimensi itu bisa membuat harga jual menjadi jauh lebih murah. “Sebab, biaya angkutan barang itu mau memuat satu kilogram dan satu ton kan sama,” tukasnya.
Tapi, jika Zero ODOL itu diterapkan menyusul naiknya harga BBM, semua menjadi serba membingungkan. “Saya yakin para sopir truk pasti akan menolak kebijakan ini karena mereka tidak ingin memberatkan klien atau konsumen mereka. Begitu juga dengan pedagang pasar tidak ingin memberatkan masyarakat karena harga jual terpaksa akan dinaikkan,” katanya.
Menurutnya, kondisi itu sudah pasti akan mengurangi daya beli masyarakat di tengah ekonomi yang masih sulit akibat terjadinya pandemi Covid-19 baru-baru ini.
“Sementara, pedagang itu kan menyesuaikan dengan harga dari distributor atau supplier. Mereka juga akan bingung kalau tidak menaikkan harga jika kebijakan Zero ODOL itu nanti akan dilaksanakan. Jadi, kenaikan harga BBM dan Zero ODOL ini akan berdampak kemana-mana,” ucapnya.
Mujiburrohman memastikan dengan kenaikan harga BBM dan penerapan kebijakan Zero ODOL, omzet para pedagang pasar bisa turun hingga 50 persen. Hal itu disebabkan daya beli masyarakat yang berkurang.
“Masyarakat pasti akan mengurangi konsumsinya. Dengan naiknya harga BBM saja, pasar sudah semakin sepi. Apalagi ditambah lagi dengan diterapkannya Zero ODOL, kondisinya akan semakin sulit lagi,” tuturnya.
Sebelumnya, Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti , Suripno, mengatakan pemerintah sama sekali belum memasukkan pertimbangan ekonomi dalam kebijakan Zero ODOL ini. Padahal, menurutnya, salah satu yang juga menjadi sasaran dari kebijakan ini adalah bagaimana meminimalkan dampak ekonomi yang ditimbulkan.
“Jadi, seharusnya ODOL bisa ditangani secara komprehensif. Sasarannya adalah bagaimana meminimalkan dampak ekonomi maupun dampak dengan korban yang diakibatkan ODOL ini. Dua itu yang seharusnya akan menjadi acuan dari kebijakan Zero ODOL ini,” ujarnya.
Selama ini, katanya, kebijakan Zero ODOL ini hanya mengacu kepada manajemen keselamatan semata. Berdasarkan PP 37 Tahun 2017 tentang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Perpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang kemudian dituangkan dalam Rencana Umum Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), penanggungjawabnya ada 5 pilar.
Pilar pertama yang terkait dengan sistem yang berkeselamatan, penanggungjawabnya adalah Bappenas. Pilar kedua yang terkait jalan yang berkeselamatan, penanggungjawabnya adalah Kementerian PUPR. Pilar ketiga yang terkait dengan kendaraan yang berkeselamatan, penanggungjawabnya adalah Kementerian Perhubungan. Pilar keempat yang terkait dengan pengguna jalan yang berkeselamatan, penanggungjawabnya adalah Polri. Sedang pilar kelima terkait dengan penanganan pasca kecelakaan.
Sementara, kata Suripno, dalam manajemen ODOL itu diperlukan juga tambahan satu pilar lagi, yaitu pilar ekonomi. “Pilar ini adalah yang berkaitan dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan. Jadi, dalam pembahasan kebijakan Zero ODOL itu, mereka-mereka ini juga harus dilibatkan,” tukasnya.
Suripno mengatakan memasukkan pilar ekonomi dalam pembahasan kebijakan Zero ODOL itu sangat mungkin dijalankan dan sangat pantas untuk ditetapkan dengan norma yang terdefinisi. “Tapi, semua berpulang pada kepentingan, mau tidak pemerintah menanganinya secara komprehensif,” ucapnya. SINARHARAPAN