Gotong royong adalah wujud kebersamaan menghadapi masalah, ringan sama dijinjing berat sama dipikul
Itulah kira kira bait kalimat yang cocok untuk menggambarkan instruksi Presiden kepada Para Bupati, Walikota dan Gubernur se Indonesia dalam rangka menghadapi peningkatan nilai inflasi akibat kebijakan kenaikan harga BBM.
Presiden menginstruksukan agar Pemerintah Daerah membantu pengendalian inflasi dengan cara melakukan realokasi anggaran sebesar 2% dari nilai APBD nya masing masing
Instruksi itu tentu saja sudah memalui kajian mendalam dengantarget inflasi yang dicanangkan dalam APBN, yaitu di bawah 5%. Dalam kesempatan itu Presiden juga menjelaskan akibat kenaikan harga BBM akan terjadi kenaikan nilai inflasi sebesar 1,8% dari nilai inflasi dalam rencana APBN tahun ini. Itu artinya, kalau tidak ada program pengendalian, maka inflasi yang terjadi akan di atas 5%, itu melebihi acuan inflasi di dalam APBN yang hanya sebesar 4,2% saja.
Dampak dari tingkat inflasi yang melebihi dari rencana itulah yang mendasari keluarnya instruksi Presiden agar Pemda sama sama memberikan kontribusinya dalam hal pengendalian inflasi tersebut. Sungguh suatu upaya yang nyata dan baik mengajak menghadapi masalah secara bersama sama, sehingga akan terasa ringan.
Dalam konteks itu APPSI sebagai institusi komunitas pedagang pasar rakyat, berkepentingan untuk masuk dalam mensukseskan instruksi Presiden tersebut. Karena, Dari sisi spirit, itu merupakan ruh dari sistem ekonomi konstitusi sebagaimana dimaksud Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina DPP APPSI
Makanya tidak heran kalau kemudian Soedaryono sebagai Ketua Umum DPP APPSI, langsung menyatakan dukungan terhadap instruksi Presiden tersebut.
Pada tataran isi, naiknya nilai inflasi tersebut, banyak dipengaruhi oleh komoditas pangan berupa bahan pokok penting.
Bahan pokok penting merupakan kebutuhan primer yang banyak dibutuhkan oleh rakyat kebanyakan, yang secara konkret tidak bisa dipenuhi secara lokal, tetapi didistribusi antar wilayah. Karenanya, kenaikan harga BBM akan berdampak langsung pada kanaikan harga bahan bahan pokok penting. Padahal, sektor transportasi logistik tidak termasuk pada sektor yang dapat disubsidi, tetapi diserahkan kepada mekanisme pasar.
Berkaitan dengan itu, berdasarkan pemantauan penulis diketahui kenaikan biaya transportasi logistik rata rata sebesar 20%. Itu artinya, peroleh barang barang harganya naik minimal 20%. Sebuah nilai kenaikan yang cukup besar, dan memberatkan rakyat.
Kembali pada sisi isi kebijakan dari implementasi pengendalian nilai inflasi. Penulis melihat, beberapa pemerintah daerah kurang bisa memahami dari maksud mendasar pengendalian inflasi itu sendiri. Sehingga, programnya memakai pendekatan kuantitas, melalui metode pemadam kebakaran.
Sehingga tidak heran kalau kemudian setiap ada gejolak harga harga bahan pokok, yang dilakukan hanya program operasi pasar ke operasi pasar atau bentuk bazar bazar murah yang diselenggarakan di kantor kantor instansi pemerintah.
Kegiatan operasi pasar atau bazar murah, secara program memang bisa menekan laju inflasi, tetapi itu bersifat sesaat, bukan pemecahan jangka panjang
Realokasi anggaran sebesar 2%, harusnya dijadikan pintu masuk membangun pondasi ekonomi kerakyatan melalui berbagai bentuk program yang dapat diakses langsung oleh masyarakat kecil guna memperoleh pendapatannya melalui kerja bukan pemberian
Pendekatan kegiatan proyek seperti itu, selain akan tetap memelihara semangat etos kerja keras rakyat, juga terfistribusinya pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan. Itu sebuah multiplier effect yang mempunyai nilai penguatan pondasi ekonomi nasional.
Kalaupun harus dilakukan operasi pasar, harus dilakukan terintegrasi dengan pasar melalui pedagang pasar. Dalam hal itu, pola subsidi bisa dilakukan pada sektor distribusi atau langsung subsidi harga.
Pola itu diyakini akan mendorong berputarnya roda ekonomi di tingkat lokal.
Sebaliknya, program operasi pasar sebagaimana biasa dilakukan selama ini, dilakukan tanpa melibatkan pasar dan pedagang pasar, justru “membunuh” keberadaan dan kondisi pedagang pasar rakyat.
Karena setiap ada program bansos yang dibalut dengan berbagai macam casing program, berdampak pada sepinya tingkat kunjungan dan transaksi di dalam pasar.
Di lain pihak, program bantalan sosial yang disodorkan saat ini, cenderung telah menempatkan rakyat, hanya sebagai penopang dan ganjal gejolak ekonomi semata. Pada bagian lain, pasar dan pedagang pasar diminta bersabar. Bila perlu menjadi objek pelaku pendorong mobil mogok. Dengan kecenderung apabila mobil sudah jalan dan melesat berlari kencang, pedagang pasar dan rakyat hanya menjadi penonton, sementara para kapitalis bergembira ria pesta, dalam gelimang dan kemewahan cuan cuan trilyunan rupiah.
Untuk itu, kalau saja para pemerintah daerah tetap ngotot dalam melakukan pengendalian inflasi dengan cara operasi pasar yang tidak melibatkan pedagang pasar, sebaiknya kita mengambil sikap tegas menolak program tersebut. Karena operasi pasar, bukan bentuk gotong royong, tetapi perbuatan nyata lempar batu atau bom molotov ke tengah tengah pasar dan pedagang pasar rakyat.
Wallohu’alam bisshowab
Nandang Sudrajat
Sekjen DPP PAPERA
Ketua DPW APPSI Jawa Barat