Program Pemulihan ekonomi nasional yang digadang gadang sebagai program mendorong kembali geliat ekonomi bangsa, sirna seketika tatkala Pemerintah mengambil langkah dan kebijakan kontrak produktif dengan program pemulihan ekonomi atau PEN pasca pandemi covid 19.
Program PEN pasca covid 19 menjadi secercah harapan, ibarat tawaran air segar menyejukkan di tengah tengah gurun pasir yang panas dan tandus. Bagaimana tidak ?? sebahagian besar rakyat Indonesia selama dua tahun kegiatan ekonominya praktis stagnan tidak berkerja khususnya untuk pelaku ekonomi kecil sebagai dampak dari pembatasan sosial yang diterapkan
Hal itu telah mendegradasi kondisi ekonomi rakyat, berupa penurunan daya beli rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Geliat ekonomi baru akan bergerak menuju level normal. Namun dengan argumentasi subsidi BBM membengkak sampai 502 trilyun, tidak ada jalan harus menaikkan harga BBM subsidi sebagai upaya menekan defisit anggaran yang terjadi. Itu karena minyak mentah dunia terjadi kenaikan. Jadi harus mengikuti mekanisme pasar agar APBN tidak terlalu terbebani, itu kira kira argumentasi yang dikedepankan oleh Pemerintah
Kenaikan harga BBM berlandaskan pada patokan harga minyak dunia yang berkisar di atas US $ 100 per barrel.
Seiring berjalannya waktu, harga minyak dunia saat ini konon katanya anjlok pada kisaran US $ 80 per barrel. Artinya. Kalau benar pemerintah mengikuti harga patokan minyak dunia, maka seyogyanya dengan serta merta BBM di dalam negeri turun mengikuti tren turunnya minyak dunia.
Namun demikian, Pemerintah ternyata tidak melakukan perubahan kebijakannya dengan cara menurunkan harga BBM. hal itu, menurut penulis lantaran kekurang tepatan memilih kebijakan dalam menentukan solusi kabijakan turunan penanggulangan dampak kenaikan harga BBM. Yaitu pemerintah lebih pendekatan solusi yang bersifat sesaat bukan solusi yang sistemik dengan cara membangun pondasi ekonomi melalui pendekatan sistem ekonomi konstitusi.
Kekurang tepatan kebijakan turunan dimaksud, adalah kebijakan bantalan sosial, dan kebijakan lainnya yang bersifat sesaat hanya mengejar indikator ekonomi yang bersifat kuantitas, bukan kualitas. Padahal bantalasan sosial bukanlah bantal yang memberikan rasa nyaman dan tidur nyenyak rakyat (lihat tulisan Bantalan sosial bukanlah Bantal)
Keistiqomahan Pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan penurunan harga BBM bersubsidi, ditengarai lantaran pemerintah terjebak jebakan Betmen yang dibuatnya sendiri, yaitu terlanjur janji menurunkan program bantalan sosial bagi kalangan yang dianggap terdampak kenaikan BBM, yaitu program kucuran dana tunai sebesar 600 ribu yang akan diturunkan dalam dua tahap. Kalau saja programnya bukan berbentuk bantalan sosial, tetapi program yang bersifat program pemberdayaan, posisi pemerintah akan lebih fleksibel dalam melakukan operasional kebijakannya. Karena solusinya berbentuk program bukan bantuan tunai sebagaimana yang dipilih saat ini.
Program pendekatan mengejar capaian kuantitas, dengan dalih menekan laju inflasi, sesungguhnya merupakan program sesaat yang bersifat semu dan kamuflase, karena rakyat tetap tidak berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli rakyat. Sebab, rakyat bukan didorong untuk mandiri, diberikan kail, tetapi disajikan ikan yang hanya tinggal dimasak.
Berkaitan dengan solusi pendekatan kualitatif pada saat menghadapi berbagai gejolak ekonomi ataupun pada saat normal. Penulis tertarik dengan konsep Prabowo Subianto dalam Buku Paradoks Indonesia, bahwa pembangunan ekonomi nasional harus mengedepankan sistem ekonomi konstitusi, sebagaimana telah disinggung di atas. Artinya, kalau konsep itu dibedah secara lebih jauh dan mendalam, bahwa ekonomi konstitusi yang dimaksud oleh Prabowo adalah ekonomi kerakyatan yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong.
Ekonomi kerakyatan secara esensi mempunyai makna bagaimana sebesar besarnya rakyat Indonesia, mampu mengakses sumberdaya ekonomi secara mudah, sehingga dapat melakukan akselerasi dirinya sendiri dalam meningkatkan taraf hidup yang layak bermuara pada sebesar besarnya kemakmuran hidup dan kehidupannya. Dalam konteks ini, rakyatlah yang harus paling pertama dan utama menerima manfaat dari dampak operasional APBN yang dijalankan oleh negara secara kualitatif. Karena itulah amanat konstitusi, melalui Pasal 33 UUD 1945.
Contoh konkret dari kebijakan kualitatif, misalnya dalam menjalankan program PEN, dan menanggulangi dampak kenaikan BBM jangan berbentuk pemberian ikan, tetapi memberikan kail dan umpannya, dengan cara menciptakan kegiatan ekonomi yang bersifat massal. Misalnya menggeser sedikit kebijakan Mega proyek ke dalam bentuk proyek proyek padat karya yang disebar sampai ke peloksok peloksok. Di situ rakyat bekerja bergotong royong, menerima manfaat proyek, mendorong multiplier effect positif, sehingga mampu menggerakkan ekonomi lokal di tiap tiap daerah.
Berdasarkan pengamatan dari berbagai macam media, diketahui beberapa daerah Kabupaten atau Kota, ramai ramai mengeluarkan anggaran khusus dalam rangka penanggulangan dampak kenaikan BBM, dengan nilai rata rata di atas 6 milyar, beberapa Pemerintah Provinsi nilainya sudah pada kisaran puluhan sampai ratusan milyar. Contoh DKI Jakarta mengelontorkan dana sebesar 620 milyar lebih untuk menekan agar ongkos transportasi umum tidak naik.
Program tersebut bukan tidak baik, tetapi cenderung malah terjadinya pemborosan anggaran, karena pola kebijakan yanv kurang tepat.
Pengeluaran anggaran oleh daerah daerah dalam kerangka mengurangi beban kenaikan BBM, secara riil kurang produktif dengan kecenderungan malahan kontrak produktif, apabila dilihat dari sistem ekonomi komstitusi. Karena bersifat sesaat. Dengan demikian, ongkos ekonomi dan sosialnya menjadi tinggi dan mahal.
Kita lihat berbagai daerah, ternyata mampu melakukan kucuran dana riil milyaran bahkan ratusan milyar rupiah, harusnya, itu dapat dijadikan modal membangun pondasi ekonomi kerakyatan, atau dana itu dihimpun sebagai dana yang dialokasikan untuk buffer stock pangan nasional yang distribusi oleh badan pangan nasional dalam sebuah kerangka sistem pembangunan pondasi ekonomi. Pada saat menghadapi gejolak ekonomi sebagaimana dampak yang diakibatkan kenaikan harga BBM
Artinya, buffer stock tersebut jangan diformulasikan dalam bentuk bansos tetapi melalui mekanisme distribusi barang ke pasar pasar rakyat dengan harga murah.
Pola kebijakan penanggulangan gejolak ekonomi dengan pendekatan sistem, diyakini akan mendorong terjadinya kemandirian, kedaulatan dan ketahanan ekonomi yang tangguh, karena daya tahan ekonomi rakyat cukup kuat menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang ada
Dengan demikian, untuk menambal APBN pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM secara serentak untuk berbagai jenis, tetapi secara selektif dengan cara sebagai berikut :
- Menaikkan harga BBM non subsidi
- Menerapkan larangan batasan kualifikasi kendaraan yang boleh membeli BBM subsidi tanpa harus menaikkan harganya.
- Melakukan pengelolaan dana penanggulangan dampak gejolak ekonomi, secara terintegrasi dengan cara mengalokasikan dana tersebut pada kegiatan ekonomi produktif, massal, padat karya, dalam kerangka membangun pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan rakyat.
Kerangka kebijakan yang dilakukan Pemerintah saat ini, belum move on dari pola lama. Hanya karena dalam rangka menambal APBN, lalu lebih memilih menghianati konstitusi.
Wallohu’alam bisshowab
Bandung, 10 September 2022
NANG SUDRAJAT
Sekjen DPP PAPERA
Ketua DPW APPSI JABAR